Rabu, 08 Januari 2014

tugas cerpen




Hari H
 


H-3
Aku berdiri menghadap jendela dipojok kamar. Berusaha menghitung setiap sinar bintang yang bisa tertangkap oleh indra penglihatanku yang sudah mulai merabun. Mereka bersembulan indah, langit begitu hitam dan seakan bersatu dengan bumi. Jika tidak teliti, mungkin aku tidak bisa membedakan mana kerlip bintang dan yang mana lampu kota.
Harusnya aku melakukan rutinitas baru yang sudah kujalani selama satu bulan. Mencuci baju, menyetrika, merapikan kamar dan segala pekerjaan lain yang dulunya jarang ku sentuh. Tapi entahlah, aku begitu bodoh melalaikannya, padahal ku tahu besuknya pasti aku akan keteteran.
Dengan penuh rasio dan akal aku mempertimbangkan sesuatu. Dalam setiap celotehanku tentang berapa angka yang telah kudapati dari menghitung kerlip bintang, pasti terselip satu hal. Ya atau Tidak. Sedari tadi itu yang kupermasalahkan.
Dia, sosok yang kukagumi sekaligus kubanggakan. Ia mampu melekat pada setiap sel otakku. Aku bahkan tak yakin tentang keabsahannya sebagai manusia, bagiku dia itu adalah alien yang dengan sengaja menyarangkan sebuah chip pengontrol dalam diriku. Segala tentangnya selalu sukses membuatku tertawa dan terkadang membuatku merasa ringan dan melayang melawan kuatnya gravitasi planet bumi yang dalam kamusku bernama logika dan realita. Tapi tak jarang juga dia membuatku merasakan sesuatu yang membuatku tak nyaman, aneh, dan terkadang membebani.
Detik, demi detik berlalu sampai menunjukkan pukul  19. Baru kusadari aku sudah dua jam terbenam dalam dimensi-dimensi yang kurasa hanya dalam duniaku saja adanya. Dalam balutan jaket, aku meringkuk sejenak. Masih menerawang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi esok. Aku tahu yang sedari tadi kulamunkan belum berhasil memecah kebuntuan, tapi aku sudah mulai menyerah. Untuk apa memikirkan sesautu yang benar-benar mengusik ketenanganku.
Tak lama kemudian aku pun terlelap dalam tidur tanpa mimpi.
***
H-1.
Memang seharusnya aku memutuskan untuk ikut atau tidak. Tapi cucianku yang memumpuk tak membiarkanku memikirkan hal itu. Belum lagi tugas-tugas seorang siswa yang pada dasarnya belum genap sebulan aku resmi berseragam putih abu-abu.
Belum kering tanganku oleh sabun cuci, ada sebuah nada dering dan getaran dari ponsel yang sedari tadi ku letakkan di meja. Jujur aku tak ingin mengangkatnya, karena ku tahu dari siapa dan apa yang akan ia bicarakan.
“Hallo?!..” ada suara dengan logat yang persis dengan punyaku, hanya saja jauh lebih halus.
“Hallo! Ada apa?” aku menjawab dengan nada sedatar adikku saat mengatakan ‘Boo’.
“Besuk, jadi ikut nggak? Cuma kamu yang belum pasti...” nada halus itu menjadi sedikit menuntut. Aku tahu pertanyaan itu pasti akan menjadi topik utama percakapan ini. Dan mungkin aku akan terkesan menjengkelkan.
“Ehmmm.. bentar,bentar. Aku mikir dulu..”
“Ah, jangan lama-lama dong mikirnya. Ayolah, susahnya apa? nanti ku tunggu di depan kosanmu aja. Kalo nggak ada transportasi, bisa tak boncengin.” Dan begitulah caranya memohon. Ara memang anak yang baik. Ku tahu sejak dulu dia memang tulus berteman. Kegilaannya selalu konsisten, dan begitulah aku. Jadi pada intinya kami berdua saling berteman karena sama-sama gila.
“Tapii...” dan setelahnya ada detik-detik kosong yang tak terisi oleh ucapku dan membuat Ara sedikit jengkel.
“Tapi apa? Bukannya kamu seneng kalo dia dateng?”
“tapi masalahnya....” belum sempat aku mengatakan, sudah ada seruan ulang diujung sana. Dan sebenarnya aku ingin bilang “tapi masalahnya, aku belum berani ketemu dia lagi”
“masalahnya apa? Udahlah ikut aja”
“Ehmmm.. baiklah. Aku ikut.”
“Okelah, janji ikut ya.. besuk kujemput sekitar jam empat di depan kosanmu.”
“Hmmm... Ya”
Begitulah percakapan itu berakhhir. Aku baru sadar bahwa tadi aku berucap seakan tidak susah membuat janji. Padahal, banyak pemikiran yang sangat berpotensi untuk membatalkan janjiku pada Ara. Tapi, Dalam benakku ini adalah bulan baik, dimana keberkahan menepati janji untuk datang ke acara bukber akan kudapat.
Baiklah aku berangkat
***
Hari H
Diluar sana angin berhembus ringan dan terkesan manis. Sisa kursi kosong di depanku itu sungguh ngeri atau bisa jadi terkesan menakjubkan. Sepatah dua patah kata untuk nanti, semoga saja membangkitkan kenangan-kenangan usang yang sedari dulu memberi sebuah arti untukku. Tempat ini mulai menyulut kekacauan, tidak pernah seperti ini ku tahu sebelumnya. Aku benar-benar merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Mungkin karena sudah cukup lama kami tidak bertemu.
Dadaku berdegup kencang sampai sakitnya begitu terasa. Aku sudah benar-benar siap berekspresi layaknya seorang terkena anemia. Mungkin selanjutnya aku akan berbicara dengan semangat penghabisan matahari sore sebelum benar-benar padam oleh malam. Kurasa, ada sebentuk bayangan roh yang merasuki setiap sel-sel tubuh yang bekerja dalam diriku. Mengalir mengikuti sirkulasi darah dan terbelah menjadi dua bagian yang memilih hati dan pikiran untuk ditinggalinya. Roh yang mungkin sudah terkontrak sebelum menjadi daging yang kemudian terlahir di dunia: tidak akan pernah bersatu denganku.
Lalu mungkin aku akan mengungkapkan rasa itu hati-hati dengan kata halo, apa kabar?  Dan sepaket basa-basi  akan terucap dari bibirku yang sedari tadi bergetar resah. Sedikit menyicil rasa rindu yang sudah setahun mengusik. Mungkin juga akan mengungkap beberapa rasa yang lain yang mungkin aku sendiri tidak mengerti bagaimana harus kudeskripsikan.  jelasnya aku tidak punya ensiklopedi untuk bisa menguraikan rasa aneh yang sudah bersarang sejak aku belum genap 12 tahun. Dan sekarang aku setengah jalan lagi menuju 15. Waktu begitu lebar membentang, dengan gampangnya menebarkan kisah-kisah “pertemanan”, yang mungkin baiknya aku memilih kata lain untuk menggambarkan hubungan itu dipihakku.
Kami berdua memang cocok, begitu kata orang-orang. “Kalian itu memang serasi. Sama-sama jahil dan cuek. Memiliki garis wajah yang mirip, sifat yang sama-sama punya pendirian yang susah dipatahkan, dan untuk bersanding dengannya kamu sangat tepat. Lagipula dia hanya satu tingkatan kelas diatasmu”, begitulah temanku berkomentar. Berusaha mencocokkan kepribadian dan segala hal tentang kami. Aku hanya tersipu, menikmati pujian yang lebih tepatnya sebuah harapan yang tersirat. Kubiarkankan khayalan itu tergores lembut oleh tinta-tinta kebahagian itu dalam jambang kanvas yang lapang bernama pikiran. Membuatnya melekat dan mengembangkan lengkung itu terbentuk dari bibirku yang awalnya menguncup.
Aku ingin dia menjadi seorang ilmuwan dikemudian hari. Menemukan sebuah mesin waktu agar aku dapat meminjamnya untuk membuktikan kebenaran sejarah-sejarah yang sekarang terangkai dalam bentuk tulisan di buku IPS. Tapi saat aku melihatnya mengerjakan soal-soal matematika, rasanya dia lebih cocok berkutik dengan sesuatu yang lebih realistis, berhubungan dengan logika dan bukan sebuah imajinasi picisan seperti yang kupunya.
Dua tahun kukenal dia, kami cukup akrab. Aku benar-benar tahu tentang dia: anak tunggal yang terlahir dari ibu seorang apoteker yang sekarang menjabat sebagai salah satu kepala bagian di rumah sakit daerah dan Ayah seorang polisi yang bertugas di kota lain. Setidaknya begitulah yang kudengar dari temanku.
“hey orang aneh berkacamata. Kucing berdasi”, aku selalu mengejeknya seperti itu saat kami bertemu.
“Apa? Anak yang TK tak punya sopan santun. ckckck”, Ia pun selalu mengejekku seperti itu. Mungkin karena tubuhku yang kecil dan pendek.
“Kucing aneh..”
“Kucing gini-gini udah laku..”
Mendengar ucapannya kami pun tertawa, bahkan dia sampai berurai air mata. Dan setelah sayup tawa kami mereda, barulah aku sadar sesuatu. Mencernanya pelan-pelan agar tidak ada kesan shock. Memahaminya membuat tenggorokanku tercekat dan sulit bernapas. Aku merasa ada bom yang tidak kusadari keberadaanya, akhirnya meledak. Aku, gadis kelas 8, yang sering berceletuk tentang UFO dan berimajinasi merasa kaku dan hilang kesadaran.
“Sejak kapan?” aku bertanya.
“Ya rahasia dong. Anak TK nggak bakalan paham.” Ia menjawab dengan ejekan santai, seakan aku tak pernah merasakan hal yang sedang membuatnya bahagia.
Dia spontan tertawa, puas dan agak lama. Aku menunggu tawanya usai dengan senyum kecil yang sedikit kupaksakan.
“Hmm.. sebaiknya, aku masuk ke kelas,” itulah yang mampu ku lakukan saat suasana ku rasa mulai berbeda. Suasana yang tiba-tiba senyap di pihakku.
Aku ingat nomor dengan akhiran 924 itu terakhir menghiasi ponselku. Ada sebuah pesan yang setelah dua bulan aku menjauhkan diri darinya:
“Hai, adek..” dan begitulah jika pesan itu dibaca.
Pesan itu tidak memberikan kesan baik untukku. Ada duri tajam yang masih teronggok tak terurus di lubuk kalbu. Ku tahu, sejak awal harusnya aku menyadari ketidakberuntunganku. Ini bukanlah kesialan yang berasal darinya, tapi jujur aku tidak tahan:
“Maaf ini bukan salahmu, tapi ada sesuatu yang tidak bisa aku toleransi. Sekali lagi ini bukan salahmu. Tolong jangan menggangguku lagi.”
Aku tidak berharap dia mengira pesannya salah sambung. Dan aku berharap isyarat yang terlampau kasar ini, akan menyadarkannya tentang suatu hal. Aku berasa tersusupi sesuatu yang tak kukenal. Aku mematikan ponsel dan berusaha mengakhiri peristiwa ini dengan membuang simcard yang selama ini sudah mengaktifkan layanan ponselku selama tiga tahun.
Sekarang dia tambah tinggi dan sedang ditaksir oleh teman sekelasnya. Aku tahu itu dari kakak kelas smp yang baru saja lulus dari SMA yang sama dengannya.
“Kamu mau pesan apa? Kok ngelamun?” Ara menyenggolku perlahan. Menyodorkanku sebuah kertas berisikan menu yang didominasi oleh olahan ayam dengan sambal-sambal yang katanya spesial.
Kulihat, semua berkumpul memanjang. Sebagian orang meluncurkan humor yang membuat lainnya tertawa sampai tercekik-cekik memancing rasa iri. Sebagian lagi, bercerita mengenai sekolah mereka,  kegiatan baru mereka, dan beberapa hal yang mereka anggap menarik sebagai seorang siswa baru sebuah sekolah menengah atas.
Aku memandang keluar. Tak sengaja ku dapati siluet dengan kacamata itu datang menghampiri meja. Gestur tegap dengan kemeja yang tertutup oleh jaket abu-abu monyet. Sesosok manusia dengan ketidaksadaran akan sebab-sebab aku menjauh darinya. Sesosok manusia itu duduk di depanku. Entah sejak kapan alzheimer menyerang remaja sepertiku, tapi tiba-tiba paket sapaan yang tadi sudah kusiapkan menguap dari cerebrumku. Menghancurkan keinginanku untuk menjalin kedekatan dengannya lagi.
Harusnya mata kami saling bertemu, saling berjabat tangan dan melakukan hal lain sewajarnya seorang kawan lama yang akhirnya berjumpa lagi. Tapi tidak kutangkap keinginan itu darinya. Dia bahkan tidak menoleh ke arahku.  Gerak tubuh dan segala bahasa darinya kutangkap tak enak dirasa. Aku tidak bisa membiarkan satu dosis obat rindu itu menjadi racun secara tiba-tiba. Tapi nyatanya aku tidak memberi indikasi yang jelas agar obat itu benar-benar layak kuminum dan menyembuhkanku dari luka yang tidak aku tahu penyebab pastinya.
Aku menunduk membiarkan semuanya terasa hambar. Dan entah bagaimana ada bulatan air kecil menyembul keluar dari sudut mataku yang sayu. Bulatan itu harus segera kuhancurkan.
Ara menatapku perlahan, berusaha membaca keadaan.
“Kamu nggak papa?” Ara bertanya saat melihat mataku.
“I am.. huhh, Okay.” Kataku lirih dengan sedikit terbata.
Acara bukber itu selesai dengan kesan kelabu yang ada dalam diriku. Padahal teman-teman lain tersenyum bahagia, dan aku hanya tersenyum seadanya. Melengkungkan bibir sebagai sebuah bentuk formalitas saja, karena pada dasarnya hanya kecewa yang kurasa. Aku sudah benar-benar tidak punya daya, seperti kerupuk yang diguyur dengan seember penuh air. Seperti abu yang bila ditiup sudah hilang entah kemana. Tapi setidaknya sudah ada kejujuran, kepasrahan, dan keberanian yang walau berakhir dengan  air mata pilu.

Jumat, 13 Desember 2013



MEMORI KECIL

Angin berhembus halus, tapi sebenarnya memberi dingin yang cukup liar. Setitik demi setitik air menembus tingkap kaca. Kalau saja aku memilih pulang lebih awal, pasti aku tidak akan terjebak di tengah rintik hujan yang sudah satu jam berlangsung. Aku di samping aula. Remang karena mendung, menjadikan ku latar beberapa orang yang senasib denganku. Kebanyakan mereka lebih memilih berdiri. Dan baru kusadari hanya aku yang menguapkan aroma bullet di sana.
Ah, sungguh membosankan. Sebagian dari orang yang berdiri tadi sudah beranjak. Tinggal beberapa manusia saja yang masih tinggal. Samar tapi aku kenal, hidungku menangkap bau roti bakar dan sepertinya ada sedikit aroma susu kental manis rasa vanila. Setidaknya membuatku lebih baik, karena sedari tadi hanya bau tanah basah yang menjejali rongga paru-paruku. Semakin lama, bau itu terasa mendekatiku, dekat, dekat, dan ... Oh, tidak, bahkan aku sudah kenyang dengan hanya menghirup aroma itu. Sejenak aku menoleh ke arah dalam aula, ku dapati siluet gadis berambut pendek sedang berjalan ke arahku dan ku tahu dia yang membawa roti bakar itu.
“Roti?” suguhnya dengan sedikit menahan tawa
Kutarik tanggannya yang sedikit lebih berdaging (daripada lenganku) dan mendudukkannya di sampingku. Anak itu memang suka muncul dan menghilang tiba-tiba. Terkadang aku berfikir Putri memang aneh, tapi lupakan saja aku menyukai teman yang seperti itu. Kami berdua bercerita cukup lama, setidaknya memecah suasana. Aku sangat bersyukur karena sedari tadi aku berasa seperti arca. Satu demi satu kata meluncur dari mulut kami berdua dan tidak sekalipun  mencapai atmosfir senyap diantara kami. Saking asyiknya, hujan yang sudah cukup lama mereda tak terasa. Kakiku terlalu berat untuk beranjak dari tempat itu, memang terlalu seru untuk segera disudahi. Tapi nyatanya, tak mungkin juga aku menunggu langit benar-benar gelap untuk pulang. Waktu itu saja sudah pukul setengah empat sore.
Seperti biasa, Aku dan Putri pulang sekolah bersama. Walaupun jarak rumah kami cukup jauh, tapi aku selalu menunggu bus di sebuah halte (sebenarnya tidak pantas disebut halte, karena tempatnya hanya berupa emperan toko) yang berada di dekat area tempat tinggal Putri. Seharusnya aku membonceng putri, tapi hari itu kami memilih untuk berjalan menyusuri jalanan yang masih basah.
Kami melangkah menuju sebuah jalan yang cukup lebar, tapi bukan jalan raya. Seratus meter setelahnya ada sebuah pertigaan. Kami menyelewengkan rute yang harusnya kami berbelok ke kiri, tapi malah berbelok ke kanan memasuki sebuah jalan kecil dengan panjang sekitar 300 meter sampai ujungnya. Jalan itu bertuliskan Cempaka 2. Ku tahu rutenya akan sedikit lebih lama dan panjang, tapi aku menyukainya.
Sampai pada sebuah rumah yang sungguh tidak asing bagiku, bagi kami berdua. Berjarak sekitar tiga petakan rumah ukuran sedang bila dihitung dari ujung jalan. Rumah besar yang rimbun (banyak pohon palm dan mangga disana) dan sepertinya masih dalam tahap renovasi. Rumah yang dalam anganku, suatu saat fotoku terpajang disana. Atau setidaknya, aku bisa menginap. Rumah itu hanya berisi seorang pembantu dan seorang apoteker yang ditinggal suaminya bekerja sebagai polisi di kota lain. Sedangkan anaknya... ah, aku sedih membahasnya.
Entah apa yang dipikirkan Putri, tapi dia sudah terlanjur meneriakkan nama anak si empunya rumah dengan gerbang depan bertuliskan angka 8 itu. Sebenarnya aku tidak terlalu cemas, karena aku percaya tak akan ada yang menggubris kami berdua. Tapi nyatanya, seorang nenek dengan daster putih motif paisley senada dengan warna rambutnya yang berkilau diterpa sisa-sisa cahaya matahari datang menghampiri kami berdua.
“Dek, orang udah pergi ke Solo. Ya udah ndak disini.” Jelasnya dengan raut yang tanpa senyum, tapi juga bukan sebuah amarah. Seketika, kami berdua membungkuk dengan sekitar lima kata maaf yang bersahutan. Jelas kudengar kata pergi dari nenek itu. Aku tahu itu. Sudah sekitar sembilan bulan dia pergi untuk meneruskan SMAnya di luar kota.
Jelas teringat, saat pertama kali kami tahu pemilik rumah ini. Saat itu kami berjalan menyusuri jalan dengan lebar sekitar 3 meter itu. Pelan dan penuh tawa, saat itu pula kami berada tepat di depan gerbang rumah yang terbuka. Sepertinya rumah sudah terisi oleh penghuninya, tapi tetap saja terkesan sepi.
Entah apa, sesuatu berbelok menuju rumah itu dan hampir saja menabrakku. Jika aku tak berpegangan pada lengan Putri, jelas saja aku sudah kehilangan keseimbangan dan tersungkur memalukan di depan rumah orang. Gestur tegap itu langsung menghentikan laju sepedanya, membiarkan kakinya menjadi tumpuan. Jelas aku kenal siapa dia. Sosok dengan garis muka yang cukup lembut dan alis yang tebal.
“Maaf, dek. Nggak papa kan?”
 air mukanya berubah menjadi khawatir dan saat itulah aku melihatnya dengan sisi yang berbeda dari kebanyakan orang. Melihatnya dengan mataku sendiri dan bukan dengan yang dikatakan oleh mata orang lain.
“Oh, ndak kok mas. Yang salah bukan masnya.” Aku berusaha membelanya, melihat wajahnya membuatku sungguh tak tega.
“Sorry lho.” Katanya sambil sedikit membungkuk. Itu benar-benar membuatku terkesan.
“Ini rumahmu, mas?” Tanya Putri dengan semangat. Anak itu benar-benar tahu saat-saat dimana aku tak bisa bicara lagi, saat dimana aku gugup dan sudah berubah menjadi batok kosong dengan pikiran yang melayang menjauhi bumi.
“Iya. Aku masuk ya..”
“Iya.” Sahut Putri dengan sebuah anggukan kecil. Sedangkan aku sudah mengangkasa entah sampai lapisan langit keberapa.
Saat itu baru ku tahu, kacamatanya berwarna merah kecoklatan dan bukan coklat tua seperti asumsiku sebelumnya. Dan dia begitu berbeda, mungkin ada yang salah dengan mataku. Entahlah, aku tak tahu sebenanrnya aku melihat sosok itu dengan organ apa, tapi yang jelas itu sangat mengesankan. Tapi tetap saja saat itu aku berusaha menepisnya. Berusaha untuk tidak berharap terlalu berlebih.
Dan perlahan semua memori itu mulai menyerbuku, satu per satu, bertubi-tubi menyerangku. Jujur aku tak suka ini. Semuanya merangsek masuk perlahan tanpa ijin terlebih dahulu dariku. Aku menghela nafas dan berusaha menjernihkan pikiran, memikirkan hal ini kurasa cukup membebani.
 Oh Tuhan, aku benci ini, tapi tanganku yang basah benar-benar mendukung untuk mengingat semuanya. LAGI. Mengingat saat pertama kali aku bersalaman dengannya. Sifatnya yang sedikit jahil membuatku harus menerima rasa sakit karena genggaman tangan yang sangat kuat. Saat itu tanganku juga basah dan seandainya aku bisa, aku ingin mentransferkan seluruh jiwaku agar bersatu dengannya, tapi dia hanya menatapku dengan raut yang menahan tawa. Aku merasa seperti badut ulang tahun yang terkesan tanpa sadar membuatnya tertawa. Mau seperti apapun aku, saat itu dia sangat puas menertawakanku.
Dan sekarang kenyataannya, aku merindukan diriku yang seperti badut dihadapannya. Aku merindukan diriku yang kesakitan karena digenggam olehnya. Dan aku merindukan diriku yang seperti batok kosong saat dihadapannya. Seandainya aku sudah tahu akhirnya, mungkin aku memilih untuk tidak mengetahui semua tentangnya.





Sorry, this story might be freak because I'm newbie..^^