Hari
H
H-3
Aku berdiri menghadap
jendela dipojok kamar. Berusaha menghitung setiap sinar bintang yang bisa
tertangkap oleh indra penglihatanku yang sudah mulai merabun. Mereka
bersembulan indah, langit begitu hitam dan seakan bersatu dengan bumi. Jika tidak
teliti, mungkin aku tidak bisa membedakan mana kerlip bintang dan yang mana
lampu kota.
Harusnya aku melakukan
rutinitas baru yang sudah kujalani selama satu bulan. Mencuci baju, menyetrika,
merapikan kamar dan segala pekerjaan lain yang dulunya jarang ku sentuh. Tapi
entahlah, aku begitu bodoh melalaikannya, padahal ku tahu besuknya pasti aku
akan keteteran.
Dengan penuh rasio dan
akal aku mempertimbangkan sesuatu. Dalam setiap celotehanku tentang berapa
angka yang telah kudapati dari menghitung kerlip bintang, pasti terselip satu
hal. Ya atau Tidak. Sedari tadi itu
yang kupermasalahkan.
Dia, sosok yang
kukagumi sekaligus kubanggakan. Ia mampu melekat pada setiap sel otakku. Aku
bahkan tak yakin tentang keabsahannya sebagai manusia, bagiku dia itu adalah
alien yang dengan sengaja menyarangkan sebuah chip pengontrol dalam diriku.
Segala tentangnya selalu sukses membuatku tertawa dan terkadang membuatku
merasa ringan dan melayang melawan kuatnya gravitasi planet bumi yang dalam
kamusku bernama logika dan realita. Tapi tak jarang juga dia membuatku
merasakan sesuatu yang membuatku tak nyaman, aneh, dan terkadang membebani.
Detik, demi detik
berlalu sampai menunjukkan pukul 19.
Baru kusadari aku sudah dua jam terbenam dalam dimensi-dimensi yang kurasa hanya
dalam duniaku saja adanya. Dalam balutan jaket, aku meringkuk sejenak. Masih
menerawang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi esok. Aku tahu yang sedari
tadi kulamunkan belum berhasil memecah kebuntuan, tapi aku sudah mulai
menyerah. Untuk apa memikirkan sesautu yang benar-benar mengusik ketenanganku.
Tak lama kemudian aku
pun terlelap dalam tidur tanpa mimpi.
***
H-1.
Memang seharusnya aku
memutuskan untuk ikut atau tidak. Tapi cucianku yang memumpuk tak membiarkanku
memikirkan hal itu. Belum lagi tugas-tugas seorang siswa yang pada dasarnya
belum genap sebulan aku resmi berseragam putih abu-abu.
Belum kering tanganku
oleh sabun cuci, ada sebuah nada dering dan getaran dari ponsel yang sedari
tadi ku letakkan di meja. Jujur aku tak ingin mengangkatnya, karena ku tahu
dari siapa dan apa yang akan ia bicarakan.
“Hallo?!..” ada suara
dengan logat yang persis dengan punyaku, hanya saja jauh lebih halus.
“Hallo! Ada apa?” aku
menjawab dengan nada sedatar adikku saat mengatakan ‘Boo’.
“Besuk, jadi ikut nggak?
Cuma kamu yang belum pasti...” nada halus itu menjadi sedikit menuntut. Aku
tahu pertanyaan itu pasti akan menjadi topik utama percakapan ini. Dan mungkin
aku akan terkesan menjengkelkan.
“Ehmmm.. bentar,bentar.
Aku mikir dulu..”
“Ah, jangan lama-lama
dong mikirnya. Ayolah, susahnya apa? nanti ku tunggu di depan kosanmu aja. Kalo
nggak ada transportasi, bisa tak
boncengin.” Dan begitulah caranya memohon. Ara memang anak yang baik. Ku tahu
sejak dulu dia memang tulus berteman. Kegilaannya selalu konsisten, dan
begitulah aku. Jadi pada intinya kami berdua saling berteman karena sama-sama
gila.
“Tapii...” dan
setelahnya ada detik-detik kosong yang tak terisi oleh ucapku dan membuat Ara
sedikit jengkel.
“Tapi apa? Bukannya
kamu seneng kalo dia dateng?”
“tapi masalahnya....”
belum sempat aku mengatakan, sudah ada seruan ulang diujung sana. Dan
sebenarnya aku ingin bilang “tapi
masalahnya, aku belum berani ketemu dia lagi”
“masalahnya apa?
Udahlah ikut aja”
“Ehmmm.. baiklah. Aku
ikut.”
“Okelah, janji ikut ya..
besuk kujemput sekitar jam empat di depan kosanmu.”
“Hmmm... Ya”
Begitulah percakapan
itu berakhhir. Aku baru sadar bahwa tadi aku berucap seakan tidak susah membuat
janji. Padahal, banyak pemikiran yang sangat berpotensi untuk membatalkan
janjiku pada Ara. Tapi, Dalam benakku ini adalah bulan baik, dimana keberkahan
menepati janji untuk datang ke acara bukber akan kudapat.
Baiklah aku berangkat
***
Hari H
Diluar sana angin
berhembus ringan dan terkesan manis. Sisa kursi kosong di depanku itu sungguh ngeri
atau bisa jadi terkesan menakjubkan. Sepatah dua patah kata untuk nanti, semoga
saja membangkitkan kenangan-kenangan usang yang sedari dulu memberi sebuah arti
untukku. Tempat ini mulai menyulut kekacauan, tidak pernah seperti ini ku tahu
sebelumnya. Aku benar-benar merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Mungkin
karena sudah cukup lama kami tidak bertemu.
Dadaku berdegup kencang
sampai sakitnya begitu terasa. Aku sudah benar-benar siap berekspresi layaknya
seorang terkena anemia. Mungkin selanjutnya aku akan berbicara dengan semangat
penghabisan matahari sore sebelum benar-benar padam oleh malam. Kurasa, ada
sebentuk bayangan roh yang merasuki setiap sel-sel tubuh yang bekerja dalam
diriku. Mengalir mengikuti sirkulasi darah dan terbelah menjadi dua bagian yang
memilih hati dan pikiran untuk ditinggalinya. Roh yang mungkin sudah terkontrak
sebelum menjadi daging yang kemudian terlahir di dunia: tidak akan pernah
bersatu denganku.
Lalu mungkin aku akan
mengungkapkan rasa itu hati-hati dengan kata halo, apa kabar? Dan sepaket basa-basi akan terucap dari bibirku
yang sedari tadi bergetar resah. Sedikit menyicil rasa rindu yang sudah setahun
mengusik. Mungkin juga akan mengungkap beberapa rasa yang lain yang mungkin aku
sendiri tidak mengerti bagaimana harus kudeskripsikan. jelasnya aku tidak punya ensiklopedi untuk
bisa menguraikan rasa aneh yang sudah bersarang sejak aku belum genap 12 tahun.
Dan sekarang aku setengah jalan lagi menuju 15. Waktu begitu lebar membentang,
dengan gampangnya menebarkan kisah-kisah “pertemanan”, yang mungkin baiknya aku
memilih kata lain untuk menggambarkan hubungan itu dipihakku.
Kami berdua memang
cocok, begitu kata orang-orang. “Kalian itu memang serasi. Sama-sama jahil dan
cuek. Memiliki garis wajah yang mirip, sifat yang sama-sama punya pendirian
yang susah dipatahkan, dan untuk bersanding dengannya kamu sangat tepat.
Lagipula dia hanya satu tingkatan kelas diatasmu”, begitulah temanku
berkomentar. Berusaha mencocokkan kepribadian dan segala hal tentang kami. Aku
hanya tersipu, menikmati pujian yang lebih tepatnya sebuah harapan yang
tersirat. Kubiarkankan khayalan itu tergores lembut oleh tinta-tinta kebahagian
itu dalam jambang kanvas yang lapang bernama pikiran. Membuatnya melekat dan
mengembangkan lengkung itu terbentuk dari bibirku yang awalnya menguncup.
Aku ingin dia menjadi
seorang ilmuwan dikemudian hari. Menemukan sebuah mesin waktu agar aku dapat
meminjamnya untuk membuktikan kebenaran sejarah-sejarah yang sekarang terangkai
dalam bentuk tulisan di buku IPS. Tapi saat aku melihatnya mengerjakan
soal-soal matematika, rasanya dia lebih cocok berkutik dengan sesuatu yang
lebih realistis, berhubungan dengan logika dan bukan sebuah imajinasi picisan
seperti yang kupunya.
Dua tahun kukenal dia,
kami cukup akrab. Aku benar-benar tahu tentang dia: anak tunggal yang terlahir
dari ibu seorang apoteker yang sekarang menjabat sebagai salah satu kepala
bagian di rumah sakit daerah dan Ayah seorang polisi yang bertugas di kota
lain. Setidaknya begitulah yang kudengar dari temanku.
“hey orang aneh
berkacamata. Kucing berdasi”, aku selalu mengejeknya seperti itu saat kami bertemu.
“Apa? Anak yang TK tak
punya sopan santun. ckckck”, Ia pun selalu mengejekku seperti itu. Mungkin
karena tubuhku yang kecil dan pendek.
“Kucing aneh..”
“Kucing gini-gini udah
laku..”
Mendengar ucapannya
kami pun tertawa, bahkan dia sampai berurai air mata. Dan setelah sayup tawa
kami mereda, barulah aku sadar sesuatu. Mencernanya pelan-pelan agar tidak ada
kesan shock. Memahaminya membuat tenggorokanku tercekat dan sulit bernapas. Aku
merasa ada bom yang tidak kusadari keberadaanya, akhirnya meledak. Aku, gadis
kelas 8, yang sering berceletuk tentang UFO dan berimajinasi merasa kaku dan
hilang kesadaran.
“Sejak kapan?” aku
bertanya.
“Ya rahasia dong. Anak TK
nggak bakalan paham.” Ia menjawab dengan ejekan santai, seakan aku tak pernah
merasakan hal yang sedang membuatnya bahagia.
Dia spontan tertawa,
puas dan agak lama. Aku menunggu tawanya usai dengan senyum kecil yang sedikit
kupaksakan.
“Hmm.. sebaiknya, aku
masuk ke kelas,” itulah yang mampu ku lakukan saat suasana ku rasa mulai
berbeda. Suasana yang tiba-tiba senyap di pihakku.
Aku ingat nomor dengan
akhiran 924 itu terakhir menghiasi ponselku. Ada sebuah pesan yang setelah dua
bulan aku menjauhkan diri darinya:
“Hai, adek..” dan
begitulah jika pesan itu dibaca.
Pesan itu tidak
memberikan kesan baik untukku. Ada duri tajam yang masih teronggok tak terurus
di lubuk kalbu. Ku tahu, sejak awal harusnya aku menyadari
ketidakberuntunganku. Ini bukanlah kesialan yang berasal darinya, tapi jujur
aku tidak tahan:
“Maaf ini bukan
salahmu, tapi ada sesuatu yang tidak bisa aku toleransi. Sekali lagi ini bukan
salahmu. Tolong jangan menggangguku lagi.”
Aku tidak berharap dia
mengira pesannya salah sambung. Dan aku berharap isyarat yang terlampau kasar
ini, akan menyadarkannya tentang suatu hal. Aku berasa tersusupi sesuatu yang
tak kukenal. Aku mematikan ponsel dan berusaha mengakhiri peristiwa ini dengan
membuang simcard yang selama ini sudah mengaktifkan layanan ponselku selama
tiga tahun.
Sekarang dia tambah
tinggi dan sedang ditaksir oleh teman sekelasnya. Aku tahu itu dari kakak kelas
smp yang baru saja lulus dari SMA yang sama dengannya.
“Kamu mau pesan apa?
Kok ngelamun?” Ara menyenggolku perlahan. Menyodorkanku sebuah kertas berisikan
menu yang didominasi oleh olahan ayam dengan sambal-sambal yang katanya
spesial.
Kulihat, semua
berkumpul memanjang. Sebagian orang meluncurkan humor yang membuat lainnya
tertawa sampai tercekik-cekik memancing rasa iri. Sebagian lagi, bercerita
mengenai sekolah mereka, kegiatan baru
mereka, dan beberapa hal yang mereka anggap menarik sebagai seorang siswa baru
sebuah sekolah menengah atas.
Aku memandang keluar.
Tak sengaja ku dapati siluet dengan kacamata itu datang menghampiri meja.
Gestur tegap dengan kemeja yang tertutup oleh jaket abu-abu monyet. Sesosok
manusia dengan ketidaksadaran akan sebab-sebab aku menjauh darinya. Sesosok
manusia itu duduk di depanku. Entah sejak kapan alzheimer menyerang remaja
sepertiku, tapi tiba-tiba paket sapaan yang tadi sudah kusiapkan menguap dari
cerebrumku. Menghancurkan keinginanku untuk menjalin kedekatan dengannya lagi.
Harusnya mata kami
saling bertemu, saling berjabat tangan dan melakukan hal lain sewajarnya
seorang kawan lama yang akhirnya berjumpa lagi. Tapi tidak kutangkap keinginan
itu darinya. Dia bahkan tidak menoleh ke arahku. Gerak tubuh dan segala bahasa darinya
kutangkap tak enak dirasa. Aku tidak bisa membiarkan satu dosis obat rindu itu
menjadi racun secara tiba-tiba. Tapi nyatanya aku tidak memberi indikasi yang
jelas agar obat itu benar-benar layak kuminum dan menyembuhkanku dari luka yang
tidak aku tahu penyebab pastinya.
Aku menunduk membiarkan
semuanya terasa hambar. Dan entah bagaimana ada bulatan air kecil menyembul
keluar dari sudut mataku yang sayu. Bulatan itu harus segera kuhancurkan.
Ara menatapku perlahan,
berusaha membaca keadaan.
“Kamu nggak papa?” Ara
bertanya saat melihat mataku.
“I am.. huhh, Okay.”
Kataku lirih dengan sedikit terbata.
Acara bukber itu
selesai dengan kesan kelabu yang ada dalam diriku. Padahal teman-teman lain
tersenyum bahagia, dan aku hanya tersenyum seadanya. Melengkungkan bibir
sebagai sebuah bentuk formalitas saja, karena pada dasarnya hanya kecewa yang
kurasa. Aku sudah benar-benar tidak punya daya, seperti kerupuk yang diguyur
dengan seember penuh air. Seperti abu yang bila ditiup sudah hilang entah
kemana. Tapi setidaknya sudah ada kejujuran, kepasrahan, dan keberanian yang walau
berakhir dengan air mata pilu.